Insentif sosial dari teman dan keluarga bisa digunakan dalam usaha kesehatan di rumah sakit, sesuai rekomendasi para ahli.
Memperbaiki mutu hubungan dengan teman-teman dan keluarga mungkin menjadi suatu cara yang lebih efektif untuk meningkatkan kesehatan pasien dan mendorong suatu kebiasaan dan perilaku sehat baru daripada sekedar memperbanyak interaksi dengan dokter atau klinisi lainnya. Dalam suatu artikel dengan sudut pandang baru, ekonomist perilaku menyarankan lima langkah bertahap untuk secara efektif melakukan kontak sosial yang bisa meningkatkan kesehatan dan untuk menguji akseptabilitas dan efektivitasnya.
Pasangan hidup dan teman-teman kemungkinan besar ada di dekat pasien saat mereka membuat keputusan yang mempengaruhi kesehatan mereka seperti memilih untuk berjalan atau menonton TV, atau apa makanan yang harus dipesan di rumah makan. Pasien juga kemungkinan besar akan memulai melakukan perilaku sehat – misalnya berolah raga—kalau ada teman yang bisa melakukannya bersama. Meskipun orang-orang sebenarnya sangat-sangat terpengaruh oleh orang-orang di sekitar mereka setiap hari dibandingkan oleh dokter atau perawat yang hanya bertemu sekali-sekali, namun interaksi yang gratis ini kadang tidak diperhatikan saat kita menyusun insentif sosial untuk kesehatan. Ini sebenarnya kesempatan yang disia-siakan.
Karena kesempatan ini tidak dimanfaatkan, dan tingginya biaya dengan dokter dan perawat yang tetap menjaga pasien-pasien mereka, maka penting untuk membuat suatu jejaring sosial yang mencantumkan support sosial yang telah pasien miliki, dan mengizinkan organisasi untuk menguji keterterimaan mereka. Pertimbangan mengenai privasi seringkali menjadi alasan mengapa dokter dan rumah sakit menghindari untuk menyusun dukungan sosial. Tapi meskipun privasi sangat penting bagi pasien untuk keadaan tertentu, lebih sering pasien menginginkan teman-teman dan keluarga mereka membantu dalam menghadapi penyakit diabetes yang mereka derita dan teman-teman dan keluarga tersebut ingin melihat orang-orang bisa mengendalikan kesehatannya.
Penulis membuat suatu tahapan dukungan sosial yang semakin meningkat dari tidak ada keterlibatan sosial sama sekali – misalnya ketika pasien minum obat sebagai bagian dari rutinitas, tanpa ada yang melihat mereka melakukannya atau menjaganya tetap akuntabel—menuju suatu desain yang bertumpu pada reputasi atau insentif ekonomis dan melibatkan tim atau desain lain yang menjaga pasien bertanggung jawab terhadap perilaku dan kebiasaan sehatnya.
Meskipun kita tidak biasanya berpikir mengenai kompetisi atau kerjasama antara pasien merupakan bagian dari penanganan penyakit kronik seperti tekanan darah tinggi, gagal jantung, atau diabetes, penelitian menunjukkan bahwa perilaku itu bisa “menular” dan program yang memanfaatkan keuntungan dari hubungan alami ini bisa jadi sangat efektif. Kebanyakan interfensi kesehatan disusun untuk pasien perorangan, namun saat ini tengah berkembang pesat penelitian yang menunjukkan bahwa organisasi “health care” bisa menggunakan strategi interaksi sosial untuk meningkatkan kesehatan pasien yang ingin terlibat dalam aktivitas atau kompetisi tim yang menyasar pada peningkatan kesehatan.
Sebagai contoh, pada anak tangga ke empat, di mana insentif sosial didesain dengan dukungan resiprokal, dirujuk sebuah studi di mana beberapa pasien dengan diabetes diminta untuk mengobrol dengan teman mereka seminggu sekali via telepon – suatu teknik yang disebut sebagai mentorship resiprokal—dan yang lain mendapatkan manajemen tipikal dari perawat. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang bekerja sama dengan temannya menunjukkan penurunan kadar glycated hemoglobin yang lebih bermakna daripada mereka yang diarahkan oleh staff klinis.
Kesehatan itu sudah pasti penting, tapi siapa bilang kesehatan tidak bisa sosial?.
Sumber:
David A. Asch, Roy Rosin. Engineering Social Incentives for Health. New England Journal of Medicine, 2016; 375 (26): 2511 DOI: 10.1056/NEJMp1603978
No comments:
Post a Comment